Sabtu, 23 November 2024

Pengamat: Ekonomi Nasional Bisa Tumbuh 5,3 Persen Kalau Konsumsi Domestik Terjaga

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Warna segar dan terang Dawet menjadi daya tarik bagi konsumen yang ingin menikmati sajian tradisional khas Siroboyoan ini.
(Foto: Kaput /SMAN 15/SS Muda)

Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian menyatakan, pemulihan ekonomi nasional pascapandemi Covid-19 terus berlanjut.

Seiring dengan klaim kuatnya pondasi perekonomian nasional, Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3 persen year on year (yoy).

“Target itu sangat mungkin bisa tercapai karena konsumsi, investasi, dan ekspor menggerakkan perekonomian nasional,” ujarnya di Jakarta, Senin (30/1/2023).

Menurut Piter Abdullah Redjalam Direktur Eksekutif Segara Institute, pernyataan Airlangga terkait target pertumbuhan tersebut angka yang realistis di tengah ketidakpastian dan ancaman krisis global.

Dia bilang, perbedaan ekonomi Indonesia dengan ekonomi negara lain adalah dukungan konsumsi domestik.

“Menurut saya realistis. Karena memang kondisi Indonesia berbeda dengan kondisi global,” ucapnya.

Piter memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh pada rentang 4,8-5,3 persen.

“Saya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 ada di kisaran 4,8-5,3 persen. Jadi, kalau Pemerintah memproyeksikan 5,3 persen itu adalah angka optimistis dan masih realistis,” sebutnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama komponen Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran.

Konsumsi domestik berkontribusi 50,38 persen terhadap PDB Kuartal III 2022. Dari 2014 hingga 2018, rata-rata kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB adalah 56,15 persen.

Pada 2019 hingga 2021, rata-rata kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB adalah 56,2 persen. Rinciannya, pada 2019 adalah 56,63 persen, 2020 naik ke 57,65 persen, dan 2021 turun ke 54,42 persen.

Sementara itu, Agus Herta Sumarto Ekonom INDEF mengatakan tiga sektor yang disebut menopang pertumbuhan ekonomi yaitu ekspor, konsumsi, dan investasi memiliki tantangannya masing-masing.

“Tantangan terbesar ada di sektor ekspor. Di tengah melemahnya kinerja perekonomian global, menggenjot ekspor sepertinya bukan perkara mudah. Kinerja perdagangan global belum benar-benar pulih. Sehingga, Pemerintah harus benar-benar bisa memilih sektor ekonomi serta komoditas yang bisa menggenjot ekspor Indonesia,” katanya.

Kemudian konsumsi masyarakat, tantangannya ada pada mempertahankan daya beli masyarakat.

“Setelah beberapa waktu lalu dihantam badai PHK dan naiknya beberapa komoditas pangan. Struktur ekonomi kita masih sangat tergantung dari sisi konsumsi ini karena lebih dari 50 persen PDB kita disokong konsumsi. Optimisme masyarakat harus terus dijaga supaya mereka tidak mengerem konsumsinya akibat adanya scarring effect,” jelasnya.

Lebih lanjut, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana itu melihat investor akan sangat berhati hati memilih daerah tujuan, di tengah pelemahan ekonomi dunia.

Menurutnya, para investor terutama investor global masih cenderung wait and see untuk menanamkan modalnya.

“Beberapa SWF global masih menerapkan standar persyaratan investasi yang tinggi untuk negara-negara tujuan investasinya. Mereka mencoba mengalihkan risiko investasi ke masing-masing negara yang menjadi target dan tujuan investasi mereka,” sebutnya.

Dia menambahkan, Sovereign Wealth Fund (SWF) memiliki fungsi stabilisasi, investasi dan tabungan yang sangat diperlukan.

Secara umum, INDEF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 di angka 4,8 persen, atau hampir sama dengan sejumlah lembaga moneter dunia lainnya.

Walau di bawah proyeksi Pemerintah, secara umum INDEF menilai kondisi perekonomian Indonesia cukup tangguh dibandingkan negara-negara lain.(rid)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs